"Keunggulan Manusia diukur dari Sumbangsih Pemikirannya"

Minggu, 17 Juli 2011

Teori Ivan Illich tentang sekolah versus tujuan SMK


Beberapa puluh tahun lalu, dunia pendidikan pernah digemparkan dengan kehadiran seorang pemikir pendidikan revolusioner yang pikiran-pikirannya dipenuhi dengan gagasan-gagasan meletup-letup lagi mencengangkan. Dialah Ivan Illich, seorang pemikir besar kelahiran Wina tahun 1926, yang mempunyai latar belakang pendidikan teologi dan kemudian menjadi seorang rohaniawan Katolik penuh kontroversi. Pikiran-pikirannya dapat ditelusuri melalui beberapa karya yang telah ditulisnya. Penelusuran terhadap karya-karyanya ini menjadi demikian penting bagi generasi-generasi sepeninggalnya untuk secara arif menyikapi serta mengkritisi setiap gagasan yang dicetuskannya. Penulis menganggap proses kreatif ini, dengan menyelami serta mengkritisi, akan menemukan signifikansinya ketika dipahami dalam kerangka historis pada waktu pemikiran Illich lahir dan kemudian dikontekstualisasikan dalam masa sekarang.



Pemikiran yang akan disoroti dalam tulisan ini, adalah pemikiran pendidikan Ivan Illich dalam buku kontroversialnya yang berjudul “Deschooling Society”. Tentu saja penulis tidak akan terlalu jauh membahas setiap detil gagasan Illich, disebabkan luasnya gagasan-gagasan yang telah ia tuangkan dalam buku tersebut. Buku yang ditulis Illich dalam rangka mengkritisi praktek kemapanan pendidikan yang selama beberapa tahun diselenggarakan oleh sekolah ini, dianggap sangat berbahaya oleh beberapa pihak. Ia dianggap telah menyadarkan masyarakat akan urgensi peninjauan ulang beberapa konsep yang selama ini dianggap mapan oleh sebagian besar masyarakat. Ivan Illich memang berbeda dengan beberapa pemikir pendidikan lainnya seperti Paulo Freire. Ivan dianggap bukan sebagai pemikir yang memiliki massa (baca: pengikut) seperti layaknya Freire. Pemikiran-pemikiran Freire diikuti oleh banyak orang dikarenakan mempunyai target yang jelas, yaitu kaum tertindas (proletar dalam bahasa Marx) yang termarjinalkan oleh praktek pendidikan yang memang tidak adil lagi sangat menindas. Namun pemikiran Illich tetap penting dan, tentu saja, tetap menarik untuk dikaji.



Melucuti kemapanan sekolah adalah tujuan awal dan gagasan pokok yang kemudian Illich tuangkan dalam tulisan-tulisannya. Sekolah, dalam pandangan Illich, adalah lembaga pendidikan yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang sangat tidak egaliter lagi diskriminatif. Sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan dalam era industri yang telah menjadi sedemikian mekanistik namun memperkurus kemanusiaan (dehumanisasi – meminjam istilah Freire). Penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah merupakan praksis yang tidak sebangun dengan pendidikan itu sendiri. Murid-murid sekolah kemudian mempunyai logika baru; belajar dianggap sebagai hasil proses pembelajaran yang diadakan oleh sekolah, semakin banyak pengajaran maka semakin banyak hasilnya, menambah materi maka akan semakin mempermudah keberhasilan. Illich menggedor kesadaran masyarakat untuk segera melakukan revolusi budaya, yakni dengan menguji mitos-mitos yang ada dalam lembaga sosial secara radikal yang selama ini telah mapan dalam pandangan masyarakat.



Mayoritas penduduk dalam negara-negara seperti Brasil, Meksiko, Argentina, dan negara-negara Amerika Latin lainnya, dalam pandangan Illich, berada dalam keterkungkungan sekolah. Penduduk ini disekolahkan karena merasa rendah diri dengan terhadap mereka yang mendapat pendidikan sekolah yang lebih baik. Anehnya, menurut Illich, keyakinan bahwa pendidikan melalui sekolah secara universal mutlak diperlukan justru begitu kuat dianut negara dimana sangat sedikit orang yang telah – dan akan – mengenyam bangku sekolah.



Benar bahwa pengajaran mempunyai andil dalam penciptaan proses belajar dalam waktu dan situasi tertentu. Namun hal ini bukan lalu berarti bahwa hanya pengajaran an sich yang bisa menciptakan proses belajar. Banyak orang yang bisa membaca dan senang membaca beranggapan bahwa mereka bisa dan senang membaca karena sekolah, namun ketika mereka ditanya secara langsung mengenai hal ini, mereka akan melepaskan ilusi ini. Fakta yang ada malah menunjukkan bahwa kebanyakan orang mendapatkan banyak pengetahuan yang berguna justru di luar pengajaran yang telah diprogram sebelumnya.



Salah satu permasalahan yang disoroti Illich adalah mengenai legitimasi yang diberikan sekolah terhadap ketrampilan yang dimiliki oleh seseorang yang telah lulus dari sekolah. Orang yang telah mengenyam pendidikan di sekolah dianggap telah memiliki ketrampilan yang memadai yang ditandai dengan diberikannnya ijazah oleh sekolah. Dalam pandangan Illich, sekolah telah memonopoli ketrampilan/peran sosial yang seharusnya tidak dilakukannya. Sekolah telah menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Sekolah hanya melayani kepentingan segelintir masyarakat yang konsumtif-konsumeristik.dengan mencetak serta memasok tukang-tukang yang bisa diberikan instruksi untuk berbuat sesuai dengan keinginan sekolah. Masyarakat telah “dipaksa” untuk selalu tunduk pada diskriminasi yang didasarkan atas sertifikat atau ijazah mengenai ketrampilan yang dimiliki seseorang. Maka kemudian dengan secara tegas, Illich menyatakan “ School, invariably, shapes the consumer who values institutional commodities above the nonprofessional ministration of a neighbor”. Fenomena inilah yang kemudian menjadi dasar pijakan bagi Illich untuk menyatakan bahwa sekolah telah melakukan praktek-prektek pendidikan yang diskriminatif.



Satu hal yang bisa jadi tidak disadari Illich adalah pernyataannya mengenai tindakan diskriminatif sekolah terhadap anak usia sekolah. Dalam pandangan penulis, pembagian anak usia sekolah ke dalam kelas yang berbeda-beda memang dibutuhkan. Karena hal ini sesuai dengan kondisi psikologis anak yang memang berbeda-beda dan, tentu saja, membutuhkan treatment yang berbeda-beda pula. Sehingga bisa dikatakan bahwa konklusi Illich dalam perpsektif psikologi tidak bisa dibenarkan. Dengan demikian, tesis Illich memang bisa dibenarkan sebagian, dan tidak bisa dibenarkan dalam beberapa hal. Namun setidaknya, lagi-lagi, Illich memang telah menyadarkan kita mengenai hal-hal yang tidak kita duga sebelumnya mengenai sekolah.



Kasus Indonesia yang mungkin bisa dianggap relevan dengan kritikan Illich adalah permasalahan yang saat ini masih digodok oleh decision maker yang berkenaan dengan sertifikasi guru. Dunia pendidikan Indonesia merupakan dunia problematis lagi kompleks. Sebagaimana pernah dilaporkan dalam salah satu TV swasta bahwa guru yang telah benar-benar memenuhi sertifikasi yang ditetapkan pemerintah hanyalah sekitar 31% (data per Desember 2006). Dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa men”sertifikasi’kan seluruh guru di negeri ini.



Memang realita yang ada di Indonesia berbeda dengan realita yang dihadapi Illich pada waktu itu. Tesis Illich telah sampai pada kesimpulan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan telah menyebabkan langkanya ketrampilan. Sebagaimana dinyatakan oleh Illich “….Skill teachers are made scarce by the belief in the value of licenses. Certification constitutes a form of market manipulation and is plausible only to a schooled mind. Most teachers of arts and trades are less skillful, less inventive, and less communicative than the best craftsmen and tradesmen….”Ada permasalahan lain yang pada waktu itu belum sempat muncul. Penggalakan sertifikasi di Indonesia, disamping membuat diskriminasi, disinyalir juga akan memunculkan praktek jual beli gelar yang ilegal, program kuliah jarak jauh yang mempersingkat waktu untuk mendapatkan gelar, serta program kuliah yang berangkat dari logika semakin banyak uang semakin singkat waktu kuliah yang bisa ditempuh. Sungguh sangat ironis melihat kenyataan seperti itu. Pendidikan telah benar-benar direduksi dari makna mulia yang sebenarnya. Maka jangan salahkan kalau kemudian lulusan yang dihasilkanpun tidak mempunyai ruh pedagogis yang seharusnya dimiliki. Pendidikan kemudian kehilangan elanvitalnya.



Dunia pendidikan Indonesia bak lingkaran setan. Sementara pemerintah meminta semua guru harus bersertifikasi dengan terlebih dahulu harus mengenyam pendidikan tinggi, masyarakatpun mengeluh dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan tinggi “pemasok” guru bersertifikat (lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai jurusan keguruan), seringkali juga dikritik karena ketidakmampuannya menyiapkan lulusan yang berkualifikasi dan kompeten di bidangnya. Lembaga pendidikan tinggi ini dituding melahirkan lulusan yang setengah-setengah, bahkan tidak pantas menjadi seorang guru. Lulusan bersertfikatpun ternyata juga belum tentu memiliki kompetensi. Dan hal inilah yang perlu untuk segera dibenahi. Lalu sebenarnya quo vadis pendidikan Indonesia?.